Sunday, March 24, 2019

Cibeo dan Hikmah kehidupan

Perjalanan ini dimulai atas aksi nekat teman-teman Dosma ( Dosen Magang ITB 2013), waktu libur adalah waktu yang ditunggu-tunggu setelah sepekan disibukkan dengan kegiatan Dosma. Kenapa aksi nekat? Karena tidak satupun dari kami yang pernah pergi kesana, belum lagi kondisi keuangan yang pas-pasan :D.

Setelah searching sana sini, kamipun berangkat dengan menggunakan mobil rental. Tidak tanggung-tanggung saking nekatnya (baca:irit) kami berangkat 9 orang dengan menggunkan mobil Avanza menempuh perjalanan dari Bandung-Banten. Selepas maghrib kami memulai perjalanan dari kota Bandung, melintasi jalan tol menuju ke Jakarta, pukul 01.00 dinihari kami tiba di Depok beristirahat di rumah salah seorang teman sekedar mandi dan meluruskan badan.
                                                                                                                                               
Subuh hari kami melanjutkan perjalanan ke Provinsi Banten, setelah melalui perjalanan kurang lebih 10 jam akhirnya kami tiba di Banten dengan modal Tanya-tanya, maklum saat itu belum ada Google Maps yang bisa memandu, Alhamdulillah sampai juga kami di Ciboleger.


Desa Ciboleger, Pandeglang adalah desa terakhir yang menjadi batas dunia luar dan kampong Baduy, atau dengan kata lain Desa Ciboleger ini adalah pintu masuk ke Kampung Baduy. Di lokasi ini lebih mirip terminal kecil yang berisi kios-kios dengan mobil berjejer di sekeliling tugu. Di Desa ini pula terdapat pos kecil yang berisi tawaran paket Guide untuk pengujung yang ingin diantar ke Kampung Baduy dengan tarif pengantaran berbeda-beda sesuai dengan tujuan perjalanan.

Desa Kanekes merupakan desa yang dihuni oleh suku Baduy luar yang jaraknya relatif lebih dekat dibandingkan suku Baduy Dalam. Tujuan kami adalah menuju ke Desa Cibeo yang dihuni oleh suku Baduy dalam sehingga tarifnya pun lumayan bagi kantong perantau nekat macam kami, akhinya dengan sedikit argumen kamipun berhasil mendapatkan harga diskon tetapi dengan paket minimalis, dengan pemandu wisata tanpa porter.




 https://citaariani.files.wordpress.com/2013/05/peta-baduy.jpg


Perjalanan pun kami mulai dengan riang gembira, melewati desa Kanekes kami disuguhi dengan rumah khas suku Baduy yang begitu sederhana dan bersahaja, senyum ramah para penduduk begitu hangat menyapa kami. Penataan rumah yang berjejer di sepanjang jalan berbatu menambah keelokan kampung Baduy ini. Penduduk Desa Kanekes bermata pencaharian sebagai petani, mereka bertani di sekitar kaki gunung, sedangkan wanitanya lebih banyak dirumah dengan bertenun kain. Mereka hidup bertetangga seperti masyarakat pada umumnya hanya saja memang mereka masih memegang beberapa aturan adat, seperti warna pakaian mereka yang didominasi warna hitam yang konon katanya karena mereka sudah terkontaminasi oleh dunia luar dan penggunaan kain sarung.







Perjalanan pun kami lanjutkan, untuk mencapai kampung Baduy dalam yaitu kampung Cibeo kami harus berjalan lagi sekitar 14 KM dari Ciboleger. Sepanjang perjalanan ke Cibeo kami melewati jembatan yang menghubungkan antara satu desa dengan desa lainnya, konstruksi jembatan ini terbuat dari susunan bambu yang diikat dengan tali, cukuplah untuk menopang beban hidup.

Perjalanan cukup berat bagi kami, euphoria diawal perjalanan membuat kami tidak bijak menggunakan energi untuk berjalan jauh, Akhirnya di sepanjang perjalanan kami banyak singgah untuk beristirahat kamipun sering ditegur oleh pemandu jalan, khawatir kemalaman di Jalan. Tanjakan tinggi dan penurunan cukup menguras tenaga rasanya ingin menyerah saja, tidak jarang beberapa dari kami terpeleset karena kabut mulai turun menjelang sore hari mengakibatkan jalan tanah yang dilalui mulai licin.










Cukup lama berselang kamipun akhirnya sampai ke perbatasan antara wilayah Baduy Luar dan Baduy dalam, sebuah jembatan kayu yang lebih kecil dan sempit setelah jembatan ini beberapa peraturan untuk suku Baduy dalam berlaku pula untuk kami, yaitu tidak ada kamera. Suku baduy dalam adalah masayarakat baduy masih memegang teguh adat-istiadatnya secara utuh. Konsep yang dipegang adalah konsep pikukuh yaitu pada intinya konsep ini berisi tentang keapaadaan, sehingga suku baduy dalam tidak menerima adanya pengaruh modernisasi.







Pukul 18.00 akhirnya setelah 5 jam berjalan kaki kami sampai juga dikampung Cibeo salah satu kampung Baduy Dalam selain desa Cikawartana, kampung ini cukup kecil susunan rumah-rumahnya hampir mirip dengan yang ada di Kanekes, hanya saja di kampung ini ada beberapa aturan adat yang harus ditaati oleh semua orang termasuk orang luar seperti kami. Kami dipersilahkan untuk menginap disebuah rumah kayu yang berjarak 50-100 cm dari tanah, ukuran rumah sekitar 8x6 meter dengan atap setinggi 3 meter. Konsep alami benar-benar terlihat dari isi rumah mereka, tak ada barang-barang istimewa hanya alat rumah tangga sederhana. Malam itu kami disuguhi Indomie dan nasi, cukup mengherankan juga karena ditengah cara hidup mereka yang sederhana, mereka diperbolehkan untuk makan makanan modern. Kami menghabiskan malam dengan berbincang namun tidak lama karena kelelahan yang menyerang akhirnya kami berangkat untuk tidur didalam rumah yang beralaskan bilah-bilah bambu dengan berselimut dingin. Dipagi hari kami melihat pemandangan yang sangat menakjubkan pesona kampung Baduy dibalut kabut dan jejeraran batu besar di dataran yang cukup luas sangat memukau, tak jauh dari sana terdapat sungai besar tempat masyarakat melakukan aktivitas MCK. Kamipun pergi ke sungai untuk sekedar membasuh muka, oh iya di sini kami dilarang menggunakan pasta gigi ataupun sabun, alhasil kami tidak bisa apa-apa. Sayangnya kami harus segera pulang karena perjalanan pulang kami harus ditempuh kurang lebih 5 jem berjalan kaki untuk sampai ke Ciboleger untuk kembali ke Bandung.


Meninggalkan kampung Baduy dalam memberikan beberapa catatan penting, bahwa hidup selaras dengan alam, menjaga kelestariannya akan membuat hidup manusia lebih terjaga, menutup diri dari dunia luar adalah pilihan yang sulit bagi siapapun di zaman seperti sekarang ini, tapi mereka bisa membuktikannya artinya sekuat apapun pengaruh buruk di luar sana jika kita mau meminta pertolongan Allah SWT maka kita akan dimampukan untuk hidup dengan nilai-nilai yang baik sesuai tunutunan Al Qur’an, dan yang terakhir layaknya perjalanan ke Cibeo, hidup ini pun harus dijalani dengan sungguh-sungguh karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menunggu kita di ujung sana, yang perlu kita lakukan hanyalah niat yang baik, lakukan yang baik dan Insya Allah akan indah pada saatnya.