03.00 Sahur pertama di bulan Ramadan
#Aku malas sekali untuk beranjak
dari tempat tidur, ah seandainya ini bukan Ramadan pertama untuk apa aku
bersusah payah bangun di malam hari begini. Perlahan kutarik kembali selimut
lembut teman tidurku dan berharap tidak ada lagi ketukan di pintu kamar.
Sesaat kemudian pintu diketok
lagi, Ali, bangun nak kita sahur.
# Ali baru saja ingin
membaringkan tubuh, tapi malam ini adalah malam istimewa.
“Aku harus bergegas menyambut malam
ini, mumpung langit diatas tidak berwarna merah,siapa tau aku serdadu Bengal itu
terlelap dalam kepayahannya”
Ali kemudian bergegas mengambil
air wudhu dan mengangkat tangan untuk bertakbir.
Setelah tahajjud Ali
menengadahkan tangan ke Langit, memohon perlindungan kepada Allah SWT, sang
Maha Rahman dan Rahim, Ali butuh kekuatan lebih, esok dia akan menghadapi momen
penting dalam hidupnya.
04.00
# Ada menu apa di sahur pertama
ini? Semoga saja Ibu memasakkan makanan kesukaanku. Jika tidak, ah lebih baik
Aku kembali saja ke kamar.
Ali mendekati meja makan, sudah ada Ibu, Ayah dan Adiknya yang menunggu.
“Ayo nak yang semangat, Esok
Ramadan pertama, yuk kita antusias menyambutnya”
Ali beringsut ke kursinya dan
berusaha menghabiskan makanan yang ada di piringnya, rasanya ingin cepat saja
agar bisa kembali tidur.
# “Assalamu alaykum
warahmatullahi wabarakatuh” Ali mengakhiri tahajudnya dengan salam ke kiri.
Hmmm kemana para serdadu-serdadu
itu? Apakah malam ini mereka tidak berpatroli, jika memang benar malam ini
mereka tidak datang berarti ini adalah bonus dari Allah.
Ali beranjak ke dapur, lebih
tepatnya tidak bisa disebut dapur lagi. Dindingnya sudah hancur sebagian tapi
ditutupi dengan selembar kain penghalang, sekedar menghalau debu agar tidak masuk
kedalam makanan.
Imminya sedang menyiapkan makanan
sekadarnya, di Negeri lain ini mungkin hanya kudapan. Tanpa banyak bicara Ali
dan Ibu menghabiskan makanan mereka, tidak ada Ayah dan Adik yang bersama
mereka.
“Ali, bagaimana persiapanmu nak?”
“Alhamdulillah Immi, Ali sudah
memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah SWT, semoga besok Ali bisa
lancar membacanya”
Immi memeluk Ali dengan hangat, remaja tanggung yang akan segera berubah menjadi lelaki dewasa adalah harapannya
saat ini setelah kehilangan suami dan anak bungsunya. Tak terasa cairan hangat
mengalir dipipinya.
Dalam hati dia berkata “ Robbil
Habli minassholihin”
05.00 Subuh hari
#Ali terlelap dalam tidurnya,
suara adzan yang menggema bukannya membangunkan dia dari tidur, sebaliknya dia
semakin terelap.
“Kak Ali, Kak Ali ayooo ke
Masjid! Temani aku Kak , kata Maizarah adiknya.
“Tar yah de’ kakak masih ngantuk
berat nih”
Ali mengabaikan Maizarah dan
kembali terlelap.
Tiba-tiba Ibu muncul di depan
pintu kamarnya.
“Ali, ayo nak ke Masjid temani
Ibu dan adikmu, soalnya Ayah sudah berangkat duluan tadi”
“Malas Bu, besok subuh saja yah, Ali janji”
Akhirnya ibu hanya memelas
memandang wajah Ali dan menggumamkan doa dari Bibirnya, “Robbi Habli Muqima
Sholati wa min dzurriyati”
# “Immi, Ali berangkat ke Masjid
yah, Immi hati-hati berada di rumah, Insya Allah saya akan segera pulang
setelah sholat subuh dan menyetorkan hapalan Ali”
Yah Ali berangkat sendiri, dengan berjingkat-jingkat melompati puing-puing
bangunan, Ali dengan lincah melewatinya untuk segera bisa melakukan sholat
subuh berjamaah.
Dari kejauhan Immi melepas Ali,
wajahnya teduh dan matanya berbinar dari jauh punggung Ali mengingatkannya pada
Abuya-nya, ketika terakhir kali melihat beliau berlalu dua
tahun lalu.
Immi menepis lamunanya dan
kembali masuk kedalam rumah.
06.00
#Ali masih terlelap, sedetik
kemudian dia bangun dengan gelapan, “Ya Allah saya belum sholat subuh, ketahuan
Ayah bisa kacau nih”
Ali setengah oleng menuju kamar
mandi, mengambil air wudhu dan sholat secepat kilat. Di hari-hari biasa,
sebentar lagi ayah akan datang ke kamar Ali.
“Alhamdulillah, kamu sudah bangun
nak”
“ hehehe, iya yah, Alhamdulillah”
“ hari ini berangkat bareng Ayah
atau pake motor sendiri?”
“mmm Ali berangkat sendiri saja
Ayah”
Ali berencana akan berangkat
kesekolah pukul 07.00 pagi, hari ini adalah Ramadan hari pertama jadwal sekolah
di mundurkan hingga pukul 08.00.
#Jantung Ali berdegup kencang,
sebentar lagi gilirannya untuk menyetorkan juz terakhirnya.
Dia lalu mengadah ke langit membayangkan
wajah adik, dan Abuya yang sedang tersenyum,
Sejurus Ali ikut tersenyum, sambil
bergumam dia membatin “Adik, Abuya tunggu Ali yah, Ali sangat rindu kalian”
Tiba-tiba wajah-wajah itu
berganti menjadi wajah Immi, wanita 40 tahunan yang saat ini satu-satunya orang
yang menjadi semangat hidupnya, Bayangan wajah Immi sangat teduh, guratan wajah
khas wanita Palestina membuat Ali selalu membanggakannya. Ali murung dan
bergumam “Immi, betapa Ali menyayangimu.
“Ya Ali, bi sur’ah” lamunan Ali
dipecah oleh panggilan syekhnya
Ali memantapkan langkah menuju ke
hadapan Syekh.
“Kamu siap Ali?”
“Naam ya Syekh”
Ali memantapkan hati dengan
tenang dia menyetorkan hapalan juz terakhirnya.
“Shodaqallahul adzim”
Para jamaah kompak membaca
hamdalah dan membaca doa setelah membaca Al Quran.
Ali menghambur ke dekapan Syekh,
air matanya mengalir membayangkan wajah Immi, Abuya dan Adiknya.
Ali bergumam “ Immi, Ali sudah
menunaikan janji”
07.00
#Ali masih santai saja sebelum
berangkat sekolah, dia masih sibuk kesana kemari, bolak balik keluar masuk
kamar.
“Ali belum berangkat?” Kata Ibu
yang sedang menonton Televisi
“Dikit lagi Bu, ini masih
siap-siap”
Sementara di TV siaran langsung
salah satu aksi pasukan Yahudi melancarkan bom, kepemukiman Palestina.
“ Astaghfirullah Hal Adzim,
kasian anak-anak Palestina, Ya Allah turunkan bala tentaraMu untuk menolong
mereka” Tiba-tiba tangis Ibu pecah, dan suaranya meninggi.
Ali terkejut dia segera
menghampiri Ibunya.
“ Ada apa bu?” Kata Ali
“ Lihat nak, pemuda-pemuda
seperti mu di Palestina berjuang mati-matian mempertahankan tanah kelahirannya”
Ali mengurungkan langkahnya ke
Sekolah, entah kenapa magnet berita ini begitu besar, dia terduduk , terdiam,
dan tak terasa air matanya menetes, demi menyaksikan pemuda sebayanya berjuang
dengan bongkahan batu berhadapah dengan Tank-tank pembunuh milik Israel.
Dilayar kaca terlihat seorang
pemuda di garis depan, mengobarkan semangat teman-temannya, memancing kemarahan
tentara Israel.
#Ali tidak bisa berlama-lama
berpelukan dengan Syaikh.
Sejurus kemudian bunyi dentuman
bom mulai bergemuruh, Ali dan pemuda yang ada menghambur keluar, berlari ke
arah sumber suara.
“Kami datang!”
Ali memasang Kafiyehnya, dia
bergumam “ini saatnya, Immi…. Ali minta izin untuk intifadah”
Ali berlari secepat kilat
menyambut tank-tank Israel. Dia memunguti batu-batu yang ada sebisanya,
sekuatnya, semampunya.
Dada Ali bergemuruh, entah kenapa
dia merasa tak berjejak di bumi. hatinya terhubung kepada Allah. Takbir, tahmid
tak lepas dari mulut dan hatinya sambil sesekali menyemangati kawan-kawannya.
Tentara Israel semakin maju, para
pemuda terdesak kebelakang tanpa sadar kini hanya ada Ali di depan, sendiri
namun sejatinya dia bersama Allah.
Ali menghindar sebisanya,
tembakan dan dentuman bom semakin memburu, Ali menghindar sebisa mungkin, Namun
Allah berkendak lain Ali memenuhi syahidnya.
Di sebuah sudut, hati seorang Ibu
bergetar, dalam doa dhuhanya Immi meneteskan air mata, naluri keibuannya
berkata Ali telah pergi, dan semoga Allah mendatangkan Rezeki untuknya jika dia
berada di langit semoga Allah menurukannya agar Immi bisa berkumpul dengan
mereka kelak, Immi beroda kepada Allah agar Rezeki syahid juga diturunkan
Allah kepadaNya.
Sedangkan disudut televisi,
dibelahan bumi yang lain, Seorang Ali menyaksikan Ali lain menemui Syahidnya, dadanya bergemuruh, matanya menghangat.
Dia bergumam “Apalah saya ini dibandingkan
Dia”
#Rumbelmenulis
#IPSulawesi
#ChallangeApril
#Ramadhan
sumber foto : https://www.dakwatuna.com/2015/11/16/76933/intifadhah-al-quds-sampai-kapan-2/#axzz5H3uV3GYr